Cari Blog Ini

Senin, 11 Mei 2015

Cahaya Hidayah lewat Mas Agus



“Cahaya Hidayah lewat Mas Agus”
Oleh: Agustin Az-zahra


(Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama "Penerbit Noktah Publishing")

Mas Agus… Aku tak begitu mengenalnya. Baru beberapa hari ini aku bertemu dengannya. Aku mengenalnya dari teman kerjaku, Doni. Kami  bekerja di sebuah depot air isi ulang di daerah kabupaten Tangerang. Suatu hari Doni mengatakan sesuatu yang mengagetkanku.

“Ra, kau tahu, kalau kita gak selamanya hidup di dunia. Yang harus kita lakukan adalah mencari bekal untuk di akhirat kelak. Salah satunya adalah dengan menuntut ilmu. Kalau kamu ada waktu ayo kita ngaji bareng?” aku sontak kaget dengan ucapannya. Bagaimana tidak? Doni itu tidak mencerminkan sama sekali tampang seorang yang alim. Pakaiannya seperti preman, urakan, dan kusut.

“Kamu gak salah ngajak aku ngaji?” aku bertanya padanya.

“Ra, kamu jangan lihat dari penampilanku yang seperti ini, aku hanya ingin mengajakmu kepada jalan kebaikan. Karena aku juga tadinya adalah seseorang yang jauh dari Allah, aku selalu berbuat maksiat, tapi Allah telah memberiku hidayah lewat temanku. Aku ingin berubah, makanya aku mengaji dan memperdalam tentang islam yang sebenarnya.”

Aku terdiam merenungi perkataannya. Yah, aku juga bukan orang yang dibilang alim. Walaupun berjilbab, tapi belum sempurna pakaianku. Soal ibadah pun aku masih sangat kurang. Doni kemudian membuyarkan lamunanku. “Gimana? Ditanya kok malah ngelamun? Kalau mau nanti aku kenalin dengan temanku, dia orangnya Insya Allah alim. Namanya Agus.”

“Hmm, ntar deh aku pikir-pikir dulu,” kataku padanya.

“Kamu tuh aneh. Diajak nambah pahala kok masih mikir-mikir, tapi kalau ada yang ngajak ke mall aja langsung mengiyakan?” kata Doni.

“Duuh, nyindir critanya? Habisnya aku masih gak percaya sih sama kamu.”

“Ingat Ra, jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikan, jika yang disampaikan adalah alqur’an dan as-sunnah maka kita wajib untuk mengimaninya. Demi Allah, aku hanya mengajakmu kepada jalan kebaikan, bukankah perintah amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban kita kepada setiap muslim?”

“Iya sih, benar juga.”

“Ya sudah ntar pulang kerja jangan langsung pulang ya, aku mau ngenalin kamu sama temanku.”

“Hmm, baiklah.” aku mengiyakannya.

Setelah pulang kerja sesuai janji Doni, aku menunggu temannya. Penasaran juga dengan temannya. Tak lama kemudian, temannya datang dengan menggunakan motor. Perawakannya sedang. Dia memakai koko putih dan celana hitam. Wajahnya teduh, berwibawa, dan tenang. Kalau dipikir wajahnya seperti orang Arab, putih, manis, dan hidungnya mancung. Sejenak aku terpaku dibuatnya. Oh, ini toh yang namanya mas Agus. Kataku dalam hati.

“Teman Doni ya? Siapa namanya?” dia membuyarkan lamunanku.

“Ohh..eh..Zahra.. mas siapa namanya?” aku kaget ditanya olehnya.

“Nama saya Agus.” Katanya sambil menelungkupkan tangan di depan dada. Aku pun refleks mengikutinya.

“Doni bilang kamu mau belajar ngaji?” dia langsung to the point.

“Hmm, iya sih mas. Emang ngaji gimana sih mas?” tanyaku.

“Ya mempelajari islam. Alqur’an sebagai pedoman kita sebagai umat islam, kita kaji dengan ilmu, karena yang namanya mengaji itu kepanjangan dari mengatur jiwa kita agar senantiasa sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam alqur’an.” Mas Agus menjelaskan panjang lebar. “Untuk lebih jelasnya nanti kamu akan dibimbing oleh teman saya seorang ustadzah, saya cuma perantara saja. Karena sejatinya seorang perempuan harus belajar dengan seorang perempuan dan laki-laki harus belajar dengan laki-laki pula.”

“Oh gitu ya?” aku manggut-manggut sok ngerti. “Tapi aku belum bilang ke kakakku kalau mau ngaji dulu. Jangan lama-lama ya?”

“Baiklah.”

Aku dan mas Agus pun berangkat, sedangkan Doni pulang ke rumahnya. Rumah temannya agak jauh, mungkin karena aku baru beberapa bulan tinggal di Tangerang, jadi belum begitu mengenal daerah sini. Setengah jam kemudian tibalah kami di rumah teman mas Agus. Ternyata ustadzahnya masih muda. Cantik, dia baru memiliki seorang anak laki-laki. Rumahnya sederhana tapi terlihat asri dan nyaman. Aku pun masuk dan mas Agus memperkenalkanku kepadanya.

“Mba, ini Zahra, mau belajar islam.” Mas Agus memperkenalkanku.

“Zahra.”kataku.

“Panggil saja saya mba Yani ya” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku pun menyalaminya.

Baru mba Yani mau memulai materi tiba-tiba hp ku berdering. Ternyata dari kakakku.

“Kamu kemana Ra? Udah malam kok belum pulang?”

“Aku lagi ngaji teh?”

“Masa ngaji malam-malam gini? Udah buruan pulang!!” kakakku marah dan menyuruhku untuk segera pulang. Aku jadi tak enak hati dengan mba Yani dan mas Agus. Tapi mba Yani bersikap bijaksana.

“Ya sudah sekarang pulang saja. Gak baik juga perempuan belum pulang malam-malam gini. Nanti dijadwalin aja ya mau kesini jam berapa. Kalau bisa hari minggu jam 10 pagi.”

“Tapi aku kerjanya di depot mba. Tiap hari kerjanya. Selesai kerjanya maghrib.” kataku.

“Ya minta kepada Allah, mudah-mudahan Allah SWT memudahkan jalan untuk dek Zahra belajar islam.”

“Ya mba. Aamiin.”

Jadi pertemuanku dengan mba Yani kali pertama hanya perkenalan. Namun ternyata niatku untuk belajar islam tidak disetujui oleh kakakku. Dia khawatir kalau aku ngajinya yang aneh-aneh. Padahal aku sudah berusaha untuk menjelaskan kalau aku ngajinya itu sumbernya alqur’an. Tapi kakakku tidak percaya. Alhasil aku belum sempat untuk bertemu dengan mba Yani lagi. Namun mas Agus sering datang ke tempat kerjaku. Dia sering memotivasiku dan memberikan ilmu kepadaku. Tapi pertemuanku dengannya pun hanya sekitar satu bulan. Itu pun karena aku keluar kerja dari depot dan bekerja di sebuah perusahaan sepatu di Tangerang. Sehingga aku juga tidak pernah bertemu mas Agus ataupun Doni lagi, bahkan lambat laun aku pun mulai melupakannya.

Hingga suatu hari, ketika aku sedang di rumah, tiba-tiba Doni datang ke rumahku.

“Assalamu;alaikum, Ra, aku tuh dari kemarin-kemarin ngehubungi kamu, tapi nomermu susah dihubungi, jadi aku kesini. Aku mau bilang kalau Agus udah meninggal..”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un…” aku benar-benar kaget mendengar berita ini. Tak percaya dengan apa yang Doni katakan.

 “Aku boleh tahu Mas Agus kenapa meninggalnya, Don?”

“Dia sakit muntaber beberapa hari. Tapi dia gak mau dibawa ke rumah sakit. Lalu  semakin hari semakin parah penyakitnya. Dan, ketika akan dibawa ke rumah sakit di perjalanan dia sudah meninggal. Oh ya, almarhum sempet kasih amanah ke aku, dia bilang tolong sampaikan ke Zahra, tetap semangat menuntut ilmu. Karena belajar itu dari buaian hingga liang lahat, jadi manfaatkanlah sisa waktu hidup kita di dunia ini dengan sebaik-baiknya.”

Deg!! Aku terhenyak dengan kata-kata Doni. Pikiranku melayang kembali mengingat kenanganku dengannya. Mas Agus… kembali teringat sms-sms terakhirnya yang belum aku hapus. Sebuah kebaikan yang kita tanam di masa ini, akan menjadi buah kebaikan yang akan kita petik di hari esok. Apabila kamu merasa letih karena berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan itulah yang akan terus kekal abadi.

Ya.. kebaikannya dalam menasehati dan memotivasiku. Mungkin, inilah yang dinamakan hidayah. Aku baru menyadari kebodohan dan kesombonganku selama ini.

Dan tak terasa aku menangis. Malu di hadapan Doni dengan keadaanku sekarang, dan terlebih lagi malu di hadapan Allah…

“Ra, aku harap kamu mau melanjutkan kembali belajar islam. Ingat tadi amanah yang disampaikan almarhum. Demi Allah, ini semua untuk kebaikanmu.”

“Ya, insya Allah aku akan memulai kembali dari awal belajarnya. Maaf atas sikapku selama ini.”

“Ya gak apa-apa. Nanti kalau mau mulai ngaji lagi, hubungi aku ya.”

“Iya pasti Don. Makasih ya.”

“Sama-sama.”

Xxx

Semenjak peristiwa itu, aku mulai belajar islam dan memperbaiki diriku. Karena sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung dari niatnya. Ketika niat untuk belajar sudah tertanam kuat di hatiku, maka Allah akan memudahkan langkahku. Kakakku sudah tidak melarangku, bahkan sekarang dia pun ikut belajar bersamaku. Mba Yani dengan sabar membimbingku. Aku jadi tau seperti apa pakaian seorang wanita muslimah yang sesungguhnya yang disebutkan di dalam surat al-ahzab ayat 59 dan surat an-nisa ayat 31.

Hidayah itu mutlak hak Allah. Bahkan nabi pun tidak bisa memberikan hidayah kepada pamannya sendiri, Abu Tholib. Namun bukan berarti kita tidak bisa mendapatkannya. Allah terkadang sudah memberikan hidayah kepada kita namun kita lah yang enggan untuk menjemputnya. Mungkin aku hanya mengenal mas Agus dalam waktu yang relatif singkat. Namun banyak sekali ilmu yang aku dapatkan darinya. Aku pun bisa merasakan sosok mas Agus seperti kakakku sendiri. Seorang kakak yang begitu peduli akan keselamatan adiknya baik di dunia maupun di akhirat. Mas Agus yang begitu sabar menasehati dan memotivasiku.

Aku hanya bisa mengucapkan: Terima kasih mas. Karenamu, aku menemukan setitik cahaya hidayah. Mudah-mudahan kelak engkau akan disandingkan dengan para bidadari di surga.

Xxx




2 komentar: