“Cahaya Hidayah lewat Mas Agus”
Oleh:
Agustin Az-zahra
(Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama "Penerbit Noktah Publishing")
Mas
Agus… Aku tak begitu mengenalnya. Baru beberapa hari ini aku bertemu dengannya.
Aku mengenalnya dari teman kerjaku, Doni. Kami bekerja di sebuah depot air isi ulang di
daerah kabupaten Tangerang. Suatu hari Doni mengatakan sesuatu yang
mengagetkanku.
“Ra,
kau tahu, kalau kita gak selamanya hidup di dunia. Yang harus kita lakukan
adalah mencari bekal untuk di akhirat kelak. Salah satunya adalah dengan
menuntut ilmu. Kalau kamu ada waktu ayo kita ngaji bareng?” aku sontak kaget
dengan ucapannya. Bagaimana tidak? Doni itu tidak mencerminkan sama sekali
tampang seorang yang alim. Pakaiannya seperti preman, urakan, dan kusut.
“Kamu
gak salah ngajak aku ngaji?” aku bertanya padanya.
“Ra,
kamu jangan lihat dari penampilanku yang seperti ini, aku hanya ingin
mengajakmu kepada jalan kebaikan. Karena aku juga tadinya adalah seseorang yang
jauh dari Allah, aku selalu berbuat maksiat, tapi Allah telah memberiku hidayah
lewat temanku. Aku ingin berubah, makanya aku mengaji dan memperdalam tentang
islam yang sebenarnya.”
Aku
terdiam merenungi perkataannya. Yah, aku juga bukan orang yang dibilang alim.
Walaupun berjilbab, tapi belum sempurna pakaianku. Soal ibadah pun aku masih
sangat kurang. Doni kemudian membuyarkan lamunanku. “Gimana? Ditanya kok malah
ngelamun? Kalau mau nanti aku kenalin dengan temanku, dia orangnya Insya Allah
alim. Namanya Agus.”
“Hmm,
ntar deh aku pikir-pikir dulu,” kataku padanya.
“Kamu
tuh aneh. Diajak nambah pahala kok masih mikir-mikir, tapi kalau ada yang
ngajak ke mall aja langsung mengiyakan?” kata Doni.
“Duuh,
nyindir critanya? Habisnya aku masih gak percaya sih sama kamu.”
“Ingat
Ra, jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikan,
jika yang disampaikan adalah alqur’an dan as-sunnah maka kita wajib untuk
mengimaninya. Demi Allah, aku hanya mengajakmu kepada jalan kebaikan, bukankah
perintah amar ma’ruf nahi munkar
adalah kewajiban kita kepada setiap muslim?”
“Iya
sih, benar juga.”
“Ya
sudah ntar pulang kerja jangan langsung pulang ya, aku mau ngenalin kamu sama
temanku.”
“Hmm,
baiklah.” aku mengiyakannya.
Setelah
pulang kerja sesuai janji Doni, aku menunggu temannya. Penasaran juga dengan
temannya. Tak lama kemudian, temannya datang dengan menggunakan motor.
Perawakannya sedang. Dia memakai koko putih dan celana hitam. Wajahnya teduh,
berwibawa, dan tenang. Kalau dipikir wajahnya seperti orang Arab, putih, manis,
dan hidungnya mancung. Sejenak aku terpaku dibuatnya. Oh, ini toh yang namanya mas Agus. Kataku dalam hati.
“Teman
Doni ya? Siapa namanya?” dia membuyarkan lamunanku.
“Ohh..eh..Zahra..
mas siapa namanya?” aku kaget ditanya olehnya.
“Nama
saya Agus.” Katanya sambil menelungkupkan tangan di depan dada. Aku pun refleks
mengikutinya.
“Doni
bilang kamu mau belajar ngaji?” dia langsung to the point.
“Hmm,
iya sih mas. Emang ngaji gimana sih mas?” tanyaku.
“Ya
mempelajari islam. Alqur’an sebagai pedoman kita sebagai umat islam, kita kaji
dengan ilmu, karena yang namanya mengaji itu kepanjangan dari mengatur jiwa
kita agar senantiasa sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam alqur’an.”
Mas Agus menjelaskan panjang lebar. “Untuk lebih jelasnya nanti kamu akan
dibimbing oleh teman saya seorang ustadzah, saya cuma perantara saja. Karena
sejatinya seorang perempuan harus belajar dengan seorang perempuan dan
laki-laki harus belajar dengan laki-laki pula.”
“Oh
gitu ya?” aku manggut-manggut sok ngerti. “Tapi aku belum bilang ke kakakku
kalau mau ngaji dulu. Jangan lama-lama ya?”
“Baiklah.”
Aku
dan mas Agus pun berangkat, sedangkan Doni pulang ke rumahnya. Rumah temannya
agak jauh, mungkin karena aku baru beberapa bulan tinggal di Tangerang, jadi
belum begitu mengenal daerah sini. Setengah jam kemudian tibalah kami di rumah
teman mas Agus. Ternyata ustadzahnya masih muda. Cantik, dia baru memiliki
seorang anak laki-laki. Rumahnya sederhana tapi terlihat asri dan nyaman. Aku
pun masuk dan mas Agus memperkenalkanku kepadanya.
“Mba,
ini Zahra, mau belajar islam.” Mas Agus memperkenalkanku.
“Zahra.”kataku.
“Panggil
saja saya mba Yani ya” katanya sambil menjulurkan tangan. Aku pun menyalaminya.
Baru
mba Yani mau memulai materi tiba-tiba hp ku berdering. Ternyata dari kakakku.
“Kamu
kemana Ra? Udah malam kok belum pulang?”
“Aku
lagi ngaji teh?”
“Masa
ngaji malam-malam gini? Udah buruan pulang!!” kakakku marah dan menyuruhku
untuk segera pulang. Aku jadi tak enak hati dengan mba Yani dan mas Agus. Tapi
mba Yani bersikap bijaksana.
“Ya
sudah sekarang pulang saja. Gak baik juga perempuan belum pulang malam-malam
gini. Nanti dijadwalin aja ya mau kesini jam berapa. Kalau bisa hari minggu jam
10 pagi.”
“Tapi
aku kerjanya di depot mba. Tiap hari kerjanya. Selesai kerjanya maghrib.” kataku.
“Ya
minta kepada Allah, mudah-mudahan Allah SWT memudahkan jalan untuk dek Zahra
belajar islam.”
“Ya
mba. Aamiin.”
Jadi
pertemuanku dengan mba Yani kali pertama hanya perkenalan. Namun ternyata
niatku untuk belajar islam tidak disetujui oleh kakakku. Dia khawatir kalau aku
ngajinya yang aneh-aneh. Padahal aku sudah berusaha untuk menjelaskan kalau aku
ngajinya itu sumbernya alqur’an. Tapi kakakku tidak percaya. Alhasil aku belum
sempat untuk bertemu dengan mba Yani lagi. Namun mas Agus sering datang ke
tempat kerjaku. Dia sering memotivasiku dan memberikan ilmu kepadaku. Tapi
pertemuanku dengannya pun hanya sekitar satu bulan. Itu pun karena aku keluar
kerja dari depot dan bekerja di sebuah perusahaan sepatu di Tangerang. Sehingga
aku juga tidak pernah bertemu mas Agus ataupun Doni lagi, bahkan lambat laun
aku pun mulai melupakannya.
Hingga
suatu hari, ketika aku sedang di rumah, tiba-tiba Doni datang ke rumahku.
“Assalamu;alaikum,
Ra, aku tuh dari kemarin-kemarin ngehubungi kamu, tapi nomermu susah dihubungi,
jadi aku kesini. Aku mau bilang kalau Agus udah meninggal..”
“Innalillahi
wa inna ilaihi roji’un…” aku benar-benar kaget mendengar berita ini. Tak
percaya dengan apa yang Doni katakan.
“Aku boleh tahu Mas Agus kenapa meninggalnya,
Don?”
“Dia
sakit muntaber beberapa hari. Tapi dia gak mau dibawa ke rumah sakit. Lalu semakin hari semakin parah penyakitnya. Dan,
ketika akan dibawa ke rumah sakit di perjalanan dia sudah meninggal. Oh ya,
almarhum sempet kasih amanah ke aku, dia bilang tolong sampaikan ke Zahra,
tetap semangat menuntut ilmu. Karena belajar itu dari buaian hingga liang
lahat, jadi manfaatkanlah sisa waktu hidup kita di dunia ini dengan sebaik-baiknya.”
Deg!!
Aku terhenyak dengan kata-kata Doni. Pikiranku melayang kembali mengingat
kenanganku dengannya. Mas Agus… kembali teringat sms-sms terakhirnya yang belum
aku hapus. Sebuah kebaikan yang kita
tanam di masa ini, akan menjadi buah kebaikan yang akan kita petik di hari esok.
Apabila kamu merasa letih karena berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan itulah yang
akan terus kekal abadi.
Ya..
kebaikannya dalam menasehati dan memotivasiku. Mungkin, inilah yang dinamakan
hidayah. Aku baru menyadari kebodohan dan kesombonganku selama ini.
Dan
tak terasa aku menangis. Malu di hadapan Doni dengan keadaanku sekarang, dan terlebih
lagi malu di hadapan Allah…
“Ra,
aku harap kamu mau melanjutkan kembali belajar islam. Ingat tadi amanah yang
disampaikan almarhum. Demi Allah, ini semua untuk kebaikanmu.”
“Ya,
insya Allah aku akan memulai kembali dari awal belajarnya. Maaf atas sikapku
selama ini.”
“Ya
gak apa-apa. Nanti kalau mau mulai ngaji lagi, hubungi aku ya.”
“Iya
pasti Don. Makasih ya.”
“Sama-sama.”
Xxx
Semenjak
peristiwa itu, aku mulai belajar islam dan memperbaiki diriku. Karena
sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung dari niatnya. Ketika niat untuk
belajar sudah tertanam kuat di hatiku, maka Allah akan memudahkan langkahku.
Kakakku sudah tidak melarangku, bahkan sekarang dia pun ikut belajar bersamaku.
Mba Yani dengan sabar membimbingku. Aku jadi tau seperti apa pakaian seorang
wanita muslimah yang sesungguhnya yang disebutkan di dalam surat al-ahzab ayat 59 dan
surat an-nisa ayat 31.
Hidayah
itu mutlak hak Allah. Bahkan nabi pun tidak bisa memberikan hidayah kepada
pamannya sendiri, Abu Tholib. Namun bukan berarti kita tidak bisa
mendapatkannya. Allah terkadang sudah memberikan hidayah kepada kita namun kita
lah yang enggan untuk menjemputnya. Mungkin aku hanya mengenal mas Agus dalam
waktu yang relatif singkat. Namun banyak sekali ilmu yang aku dapatkan darinya.
Aku pun bisa merasakan sosok mas Agus seperti kakakku sendiri. Seorang kakak
yang begitu peduli akan keselamatan adiknya baik di dunia maupun di akhirat.
Mas Agus yang begitu sabar menasehati dan memotivasiku.
Aku
hanya bisa mengucapkan: Terima kasih mas. Karenamu, aku menemukan setitik
cahaya hidayah. Mudah-mudahan kelak engkau akan disandingkan dengan para
bidadari di surga.
Xxx
Bagus cerpennya aku suka
BalasHapusterharu banget sama mas Agusnya mba T-T
BalasHapus