“Sahabat Dunia Akhirat”
Oleh:
Agustin Az-zahra
"Dimuat dalam buku antologi cerpen bersama Penerbit Bintang Pelangi"
Langit
hari ini tampak cerah, secerah hatiku yang sedang dirundung bahagia. Hari ini
aku akan bertemu kembali dengan sahabatku sewaktu di bangku SMP. Zia namanya.
Sudah lima tahun kami tidak bersua. Di kota Tangerang, di perantauan ini, Allah
telah mempertemukan kembali hamba-Nya yang saling merindu. Kemarin aku
mendapatkan telepon darinya.
“Assalamu’alaikum
Zahra, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tak bersua.” Suara Zia di
telepon.
“Wa’alaikumsalam,
Alhamdulillah baik Zi. Kamu gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah
aku juga baik. Oh ya Ra, besok aku ada praktik kerja lapangan di daerah
Tangerang selama tiga bulan. Aku senang sekali, mungkin kita bisa bertemu
kembali.’ Zia terdengar sangat bersemangat.
“Benarkah?
Aku pasti akan menunggumu di sini Zi. Kabari aku ya kalau kamu sudah sampai di
Tangerang.”
“Pasti.
Sudah ya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Xxx
Hari
minggu. Zia memberitahuku kalau dia sudah sampai di Tangerang. Kami pun membuat
janji untuk bertemu di Citra Raya pukul 10 pagi. Aku pun memacu motorku
menelusuri jalanan di Tangerang yang selalu macet. Sampai di Citra Raya aku
belum melihat batang hidung Zia. Kami janjian di taman di dalam lingkungan
Citra Raya. Aku membayangkan sosok Zia, sahabatku. Dulu sewaktu SMP saja
tinggiku hanya setelinganya. Mungkin sekarang dia sangat tinggi. Tiba-tiba aku
melihat Zia di kejauhan. Dia tampak sedang mencari-cari seseorang. Pasti sedang
mencariku. Benar saja, tubuhnya tinggi sekali. Namun badannya masih kurus sama
seperti dulu. Aku pun mendekatinya lalu kutepuk bahunya perlahan.
“Assalamu’alaikum
Zia.”
Zia
pun menoleh ke arahku. “Wa’alaikumsalam. Zahra?! Ini benar kan Zahra?” Zia
tampak kaget dengan penampilanku.
“Iya
ini aku Zahra, Zi.” Aku tersenyum manis.
“Subhanallah,
Zahraku telah berubah. Dulu waktu SMP, kamu masih belum berjilbab. Dan
sekarang, kamu tampak anggun dengan gamis ungu dan jilbab putihmu.”
“Alhamdulillah.
Allah yang mengetuk hatiku Zi.”
“Ceritakan
padaku Ra, apa yang membuatmu berubah menjadi seperti sekarang? Aku ingin tahu
lebih banyak.” Zia tampak antusias. Aku mengajak Zia duduk di bangku terlebih
dahulu.
“Kau
tahu Zi, segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan ini tidak ada yang
terjadi secara kebetulan. Semuanya telah tercatat di Lauh Mahfuz. Sama seperti
yang terjadi padaku. Semuanya terjadi atas kehendak Allah, dan inilah bukti
bahwa Allah sayang padaku.”
“Memang
benar. Aku pernah dengar bahwa sehelai daun yang jatuh pun sudah tercatat di
sisi-Nya.”
“Iya.”
“Lalu,
siapa yang mengajakmu berubah? Bukankah tidak mungkin jika kamu berubah atas
dasar nuranimu sendiri, di kota yang besar ini, dengan pergaulan zaman sekarang
yang sudah kelewat batas?”
“Betul,
walaupun sebenarnya tidak menutup kemungkinan jika seseorang bisa berubah
karena faktor dari dalam dirinya sendiri. Kalau aku, Allah membukakan pintu
hidayah-Nya melalui perantara teman kerjaku.”
“Teman
kerja? Kok bisa?” Zia tampak heran.
“Iya,
dulu sewaktu aku pernah bekerja di depot isi ulang galon aku berkenalan dengan
teman kerjaku. Dia mengajakku mengaji, mengkaji alqur’an sebagai pedoman kita
sebagai umat Islam.”
“Lalu?”
“Awalnya
aku ragu, belum lagi dari keluargaku juga tidak menyetujuiku mengaji. Mereka
takut kalau aku mengikuti pengajian yang aneh-aneh. Alhasil, aku pun hanya
sekali ikut kajian bersama temanku. Oh ya, namanya Mas Agus.”
“Memang
sih, sekarang ini pengajian banyak alirannya. Belum lagi di media elektronik
banyak sekali berita-berita mengenai teroris.”
“Iya
Zi. Makanya aku vakum mengaji sebulan lebih.”
“Lantas,
kamu kenapa mau mulai mengaji lagi?”
“Ada
satu peristiwa Zi. Yang membuatku menangis dan menyadari kekhilafanku selama
ini.”
“Apa
itu?”
“Teman
Mas Agus datang ke rumahku Zi. Dia datang membawa kabar bahwa Mas Agus telah
meninggal.”
“Innalillahi
wa inna ‘ilaihi roji’un. Kenapa? Sakit atau kecelakaan?”
“Mas
Agus sakit muntaber. Dia terlambat dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan dia
sudah menghembuskan nafas terakhirnya.” Aku mulai sedih mengenang peristiwa
dulu. “Aku kaget Zi mendengar kabar itu. Dan yang lebih buatku tertegun adalah
ketika temannya bilang ‘Almarhum punya satu wasiat untukmu Ra. Dia berharap
kamu tetap menuntut ilmu Allah. Karena menuntut ilmu Allah itu hukumnya wajib
dari buaian hingga liang lahat. Ilmu akan menjadikan bekal bagi kita kelak di
alam kubur, karena ilmu adalah bentuk amalan yang tidak akan terputus meskipun
kita telah meninggal.’ Begitu katanya.”
“Aku
terpaku dan merenungi semua kata-kata wasiat almarhum. Dan seketika aku
menangis Zi. Aku menyesal dengan kebodohan dan kesombonganku selama ini. Tapi
aku bersyukur karena aku adalah termasuk dari sedikit hamba-Nya yang masih
diberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diriku. Aku masih mengingat
kata-kata motivasi dari almarhum. Katanya, sebuah
kebaikan yang kita tanam di hari ini, akan menjadi buah kebaikan yang akan kita
petik di hari esok. Apabila kamu letih karena berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya keletihan itu akan sirna dan kebaikan itulah yang akan tetap kekal abadi.”
“Aku
pun memutuskan untuk kembali ke jalan-Nya. Aku putus dengan pacarku. Aku
musiumkan semua kaos dan celana jinsku. Aku benar-benar ingin berubah menjadi
muslimah yang taat.” Tak terasa air mataku sudah mengalir deras ketika
menceritakan perjalanan hidupku.
“Subhanallah.
Aku salut denganmu Ra. Keteguhan hatimu sungguh kuat. Jarang sekali anak-anak
muda bisa berubah sedemikian drastis.”
“Inilah
bukti bahwa kasih sayang Allah masih menyertaiku. Bukankah apabila Allah
menghendaki hamba-Nya mendapatkan hidayah, maka tidak ada seorangpun yang dapat
mencegahnya? Begitupun denganku. Walaupun awalnya banyak rintangan dan aral
menghadang, namun aku tak akan menyerah. Karena aku yakin segala ujian yang Allah
berikan untukku adalah untuk meningkatkan kualitas keimananku.”
“Iya
Ra.”
“Namun
masih ada guratan penyesalan dariku Zi.”
“Kenapa?”
“Aku
menyesal karena aku tidak berperilaku baik terhadap almarhum. Aku sering
mengacuhkannya. Aku tidak pernah merespon niat baik darinya. Mungkinkah dia
memaafkanku?” aku menunduk dalam-dalam.
Zia
memegang pundakku dan mencoba menyemangatiku.
“Zahra,
walaupun aku belum pernah bertemu dengan almarhum, aku yakin dia telah
memaafkanmu. Orang-orang baik tidak pernah menyimpan dendam atau sakit hati di
dalam hatinya. Perubahan yang kamu lakukan sekarang pun bisa menambah pahala
untuknya.”
“Mudah-mudahan
ya Zi. Aku juga berharap masih banyak orang-orang yang tak kenal lelah dalam
berdakwah, mengajak manusia dari cahaya kegelapan menuju cahaya terang
benderang.”
“Amiin.
Jujur aku iri dengan perubahanmu sekarang Ra.”
“Kenapa
harus iri? Kamu juga bisa berubah sama sepertiku.”
“Bisakah?”
“Ya.
Kuncinya adalah niat dan kesungguhan hati Zi. Segala sesuatu kan tergantung
dari niatnya, maka azzamkan dalam diri kita bahwa kita ingin menjadi muslimah
yang taat.” Aku tersenyum kepadanya. Zia tampak merenungi kata-kataku.
“Sudah
jangan terlalu banyak berpikir. Pulang dari Citra Raya, aku ajak kamu untuk
berkenalan dengan teman-temanku. Kamu pasti senang. Mereka adalah teman-teman
yang menjalin persaudaraan karena jalinan ukhuwah islamiyah semata. Dan karena
mereka pulalah aku masih istiqomah dan bertahan sampai sekarang.”
“Aku
malu Ra.”
“Tidak
perlu malu Zi. Yang berbuat maksiat saja tidak pernah malu. Kenapa kita yang
ingin berbuat baik justru malu? selagi masih ada waktu dan kesempatan, Zi. Kita
tidak akan pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Kita hanya bisa memperbaiki
diri dan mempersiapkan bekal untuk di akhirat kelak.”
“Duuh,
ngeri ya kalau ngomongin mati.” Aku pun tersenyum mendengarnya.
“Jangan
takut mati, Zi. Takutlah jika kita hanya membawa amal kebaikan yang hanya
seujung kuku. Satu pesanku, carilah teman-teman yang bisa saling mengingatkan
dan menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Ibarat kata jika kita berteman
dengan tukang minyak wangi, maka kita akan terkena wanginya. Namun jika kita
berteman dengan tukang ikan, maka kita akan terkena bau amisnya.”
“Tapi
kamu kan kerja di pabrik sepatu Ra? Berarti nanti aku kecipratan sepatunya ya.
Hehehe…” canda Zia.
Aku
pun tersenyum simpul mendengarnya. “Bisa kok kamu dapat sepatunya. Tapi, kasih
dulu uangnya sini.” Balasku.
Kami
pun tertawa bersama. Ah, begitu indahnya persahabatan. Meskipun sudah sekian
lama tak bersua. Namun jalinan kasih sayang masih terpatri kuat dalam dada.
Ditambah lagi dengan kemauan Zia mengenal islam lebih dekat. Islam yang indah.
Islam yang menjunjung tinggi ikatan ukhuwah atas dasar aqidah. Dari ras dan
suku manapun semua melebur jadi satu. Karena islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Mudah-mudahan kami bisa menjadi sahabat di dunia maupun di akhirat kelak. Amiin
ya Robbal ‘alamin.
Xxx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar