Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Juni 2015

Cerita tentang Sahabat Dunia Akhirat


 


“Sahabat Dunia Akhirat”
Oleh: Agustin Az-zahra

 "Dimuat dalam buku antologi cerpen bersama Penerbit Bintang Pelangi"


Langit hari ini tampak cerah, secerah hatiku yang sedang dirundung bahagia. Hari ini aku akan bertemu kembali dengan sahabatku sewaktu di bangku SMP. Zia namanya. Sudah lima tahun kami tidak bersua. Di kota Tangerang, di perantauan ini, Allah telah mempertemukan kembali hamba-Nya yang saling merindu. Kemarin aku mendapatkan telepon darinya.

“Assalamu’alaikum Zahra, bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tak bersua.” Suara Zia di telepon.
“Wa’alaikumsalam, Alhamdulillah baik Zi. Kamu gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah aku juga baik. Oh ya Ra, besok aku ada praktik kerja lapangan di daerah Tangerang selama tiga bulan. Aku senang sekali, mungkin kita bisa bertemu kembali.’ Zia terdengar sangat bersemangat.
“Benarkah? Aku pasti akan menunggumu di sini Zi. Kabari aku ya kalau kamu sudah sampai di Tangerang.”
“Pasti. Sudah ya, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Xxx
Hari minggu. Zia memberitahuku kalau dia sudah sampai di Tangerang. Kami pun membuat janji untuk bertemu di Citra Raya pukul 10 pagi. Aku pun memacu motorku menelusuri jalanan di Tangerang yang selalu macet. Sampai di Citra Raya aku belum melihat batang hidung Zia. Kami janjian di taman di dalam lingkungan Citra Raya. Aku membayangkan sosok Zia, sahabatku. Dulu sewaktu SMP saja tinggiku hanya setelinganya. Mungkin sekarang dia sangat tinggi. Tiba-tiba aku melihat Zia di kejauhan. Dia tampak sedang mencari-cari seseorang. Pasti sedang mencariku. Benar saja, tubuhnya tinggi sekali. Namun badannya masih kurus sama seperti dulu. Aku pun mendekatinya lalu kutepuk bahunya perlahan.
“Assalamu’alaikum Zia.”
Zia pun menoleh ke arahku. “Wa’alaikumsalam. Zahra?! Ini benar kan Zahra?” Zia tampak kaget dengan penampilanku.
“Iya ini aku Zahra, Zi.” Aku tersenyum manis.
“Subhanallah, Zahraku telah berubah. Dulu waktu SMP, kamu masih belum berjilbab. Dan sekarang, kamu tampak anggun dengan gamis ungu dan jilbab putihmu.”
“Alhamdulillah. Allah yang mengetuk hatiku Zi.”
“Ceritakan padaku Ra, apa yang membuatmu berubah menjadi seperti sekarang? Aku ingin tahu lebih banyak.” Zia tampak antusias. Aku mengajak Zia duduk di bangku terlebih dahulu.
“Kau tahu Zi, segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan ini tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Semuanya telah tercatat di Lauh Mahfuz. Sama seperti yang terjadi padaku. Semuanya terjadi atas kehendak Allah, dan inilah bukti bahwa Allah sayang padaku.”
“Memang benar. Aku pernah dengar bahwa sehelai daun yang jatuh pun sudah tercatat di sisi-Nya.”
“Iya.”
“Lalu, siapa yang mengajakmu berubah? Bukankah tidak mungkin jika kamu berubah atas dasar nuranimu sendiri, di kota yang besar ini, dengan pergaulan zaman sekarang yang sudah kelewat batas?”
“Betul, walaupun sebenarnya tidak menutup kemungkinan jika seseorang bisa berubah karena faktor dari dalam dirinya sendiri. Kalau aku, Allah membukakan pintu hidayah-Nya melalui perantara teman kerjaku.”
“Teman kerja? Kok bisa?” Zia tampak heran.
“Iya, dulu sewaktu aku pernah bekerja di depot isi ulang galon aku berkenalan dengan teman kerjaku. Dia mengajakku mengaji, mengkaji alqur’an sebagai pedoman kita sebagai umat Islam.”
“Lalu?”
“Awalnya aku ragu, belum lagi dari keluargaku juga tidak menyetujuiku mengaji. Mereka takut kalau aku mengikuti pengajian yang aneh-aneh. Alhasil, aku pun hanya sekali ikut kajian bersama temanku. Oh ya, namanya Mas Agus.”
“Memang sih, sekarang ini pengajian banyak alirannya. Belum lagi di media elektronik banyak sekali berita-berita mengenai teroris.”
“Iya Zi. Makanya aku vakum mengaji sebulan lebih.”
“Lantas, kamu kenapa mau mulai mengaji lagi?”
“Ada satu peristiwa Zi. Yang membuatku menangis dan menyadari kekhilafanku selama ini.”
“Apa itu?”
“Teman Mas Agus datang ke rumahku Zi. Dia datang membawa kabar bahwa Mas Agus telah meninggal.”
“Innalillahi wa inna ‘ilaihi roji’un. Kenapa? Sakit atau kecelakaan?”
“Mas Agus sakit muntaber. Dia terlambat dibawa ke rumah sakit. Di perjalanan dia sudah menghembuskan nafas terakhirnya.” Aku mulai sedih mengenang peristiwa dulu. “Aku kaget Zi mendengar kabar itu. Dan yang lebih buatku tertegun adalah ketika temannya bilang ‘Almarhum punya satu wasiat untukmu Ra. Dia berharap kamu tetap menuntut ilmu Allah. Karena menuntut ilmu Allah itu hukumnya wajib dari buaian hingga liang lahat. Ilmu akan menjadikan bekal bagi kita kelak di alam kubur, karena ilmu adalah bentuk amalan yang tidak akan terputus meskipun kita telah meninggal.’ Begitu katanya.”
“Aku terpaku dan merenungi semua kata-kata wasiat almarhum. Dan seketika aku menangis Zi. Aku menyesal dengan kebodohan dan kesombonganku selama ini. Tapi aku bersyukur karena aku adalah termasuk dari sedikit hamba-Nya yang masih diberi kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diriku. Aku masih mengingat kata-kata motivasi dari almarhum. Katanya, sebuah kebaikan yang kita tanam di hari ini, akan menjadi buah kebaikan yang akan kita petik di hari esok. Apabila kamu letih karena berbuat kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan sirna dan kebaikan itulah yang  akan tetap kekal abadi.”
“Aku pun memutuskan untuk kembali ke jalan-Nya. Aku putus dengan pacarku. Aku musiumkan semua kaos dan celana jinsku. Aku benar-benar ingin berubah menjadi muslimah yang taat.” Tak terasa air mataku sudah mengalir deras ketika menceritakan perjalanan hidupku.
“Subhanallah. Aku salut denganmu Ra. Keteguhan hatimu sungguh kuat. Jarang sekali anak-anak muda bisa berubah sedemikian drastis.”
“Inilah bukti bahwa kasih sayang Allah masih menyertaiku. Bukankah apabila Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan hidayah, maka tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya? Begitupun denganku. Walaupun awalnya banyak rintangan dan aral menghadang, namun aku tak akan menyerah. Karena aku yakin segala ujian yang Allah berikan untukku adalah untuk meningkatkan kualitas keimananku.”
“Iya Ra.”
“Namun masih ada guratan penyesalan dariku Zi.”
“Kenapa?”
“Aku menyesal karena aku tidak berperilaku baik terhadap almarhum. Aku sering mengacuhkannya. Aku tidak pernah merespon niat baik darinya. Mungkinkah dia memaafkanku?” aku menunduk dalam-dalam.
Zia memegang pundakku dan mencoba menyemangatiku.
“Zahra, walaupun aku belum pernah bertemu dengan almarhum, aku yakin dia telah memaafkanmu. Orang-orang baik tidak pernah menyimpan dendam atau sakit hati di dalam hatinya. Perubahan yang kamu lakukan sekarang pun bisa menambah pahala untuknya.”
“Mudah-mudahan ya Zi. Aku juga berharap masih banyak orang-orang yang tak kenal lelah dalam berdakwah, mengajak manusia dari cahaya kegelapan menuju cahaya terang benderang.”
“Amiin. Jujur aku iri dengan perubahanmu sekarang Ra.”
“Kenapa harus iri? Kamu juga bisa berubah sama sepertiku.”
“Bisakah?”
“Ya. Kuncinya adalah niat dan kesungguhan hati Zi. Segala sesuatu kan tergantung dari niatnya, maka azzamkan dalam diri kita bahwa kita ingin menjadi muslimah yang taat.” Aku tersenyum kepadanya. Zia tampak merenungi kata-kataku.
“Sudah jangan terlalu banyak berpikir. Pulang dari Citra Raya, aku ajak kamu untuk berkenalan dengan teman-temanku. Kamu pasti senang. Mereka adalah teman-teman yang menjalin persaudaraan karena jalinan ukhuwah islamiyah semata. Dan karena mereka pulalah aku masih istiqomah dan bertahan sampai sekarang.”
“Aku malu Ra.”
“Tidak perlu malu Zi. Yang berbuat maksiat saja tidak pernah malu. Kenapa kita yang ingin berbuat baik justru malu? selagi masih ada waktu dan kesempatan, Zi. Kita tidak akan pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Kita hanya bisa memperbaiki diri dan mempersiapkan bekal untuk di akhirat kelak.”
“Duuh, ngeri ya kalau ngomongin mati.” Aku pun tersenyum mendengarnya.
“Jangan takut mati, Zi. Takutlah jika kita hanya membawa amal kebaikan yang hanya seujung kuku. Satu pesanku, carilah teman-teman yang bisa saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Ibarat kata jika kita berteman dengan tukang minyak wangi, maka kita akan terkena wanginya. Namun jika kita berteman dengan tukang ikan, maka kita akan terkena bau amisnya.”
“Tapi kamu kan kerja di pabrik sepatu Ra? Berarti nanti aku kecipratan sepatunya ya. Hehehe…” canda Zia.
Aku pun tersenyum simpul mendengarnya. “Bisa kok kamu dapat sepatunya. Tapi, kasih dulu uangnya sini.” Balasku.
Kami pun tertawa bersama. Ah, begitu indahnya persahabatan. Meskipun sudah sekian lama tak bersua. Namun jalinan kasih sayang masih terpatri kuat dalam dada. Ditambah lagi dengan kemauan Zia mengenal islam lebih dekat. Islam yang indah. Islam yang menjunjung tinggi ikatan ukhuwah atas dasar aqidah. Dari ras dan suku manapun semua melebur jadi satu. Karena islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Mudah-mudahan kami bisa menjadi sahabat di dunia maupun di akhirat kelak. Amiin ya Robbal ‘alamin.
Xxx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar