“Selamat Datang Ilmu”
Oleh:
Agustin Az-zahra
"Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama Penerbit Aria Mandiri"
Namaku
Bintang. Setiap hari aku selalu berada di tengah-tengah kerumunan orang yang
akan bekerja. Di sudut jalan, menadahkan tangan demi sesuap nasi.
Hati kecilku
berontak, aku sedih, aku marah, aku iri melihat anak-anak sebayaku memakai
seragam merah putih dengan wajah riang berangkat sekolah. Aku selalu
membayangkan kapan aku bisa seperti mereka.Tersenyum, tertawa gembira bermain
dengan teman-teman. Sedangkan aku, hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Seperti
biasa aku dan ibuku berada di sudut jalan, meminta-minta belas kasihan orang.
Dalam sehari, kami bisa berganti-ganti
tempat sebanyak tiga kali. Pagi hari di pabrik, siang hari di perempatan lampu
merah, dan menjelang sore hari di sekitar terminal. Penghasilan kami dalam
sehari sebenarnya cukup untuk hanya sekedar makan, namun sayangnya kami harus
memberikan uang kami sebagiannya kepada kepala preman di tempat kami tinggal,
di bawah kolong jembatan dengan kondisi yang tidak layak disebut rumah, hanya kardus-kardus
dan atap jerami yang dibentuk kotak untuk tempat kami tidur. Ya, beginilah
nasib orang pinggiran seperti kami.
Xxx
Panasnya
mentari di siang hari ini membuat adikku yang paling kecil menangis. Sari terus
menerus merengek, tampaknya dia sakit. Aku coba menempelkan tanganku ke
dahinya. Benar saja, panas sekali badannya.
“Bu,
Sari sakit. Badannya panas sekali.”
“Iya
Bin, bagaimana ini? Ibu tak punya uang untuk membawanya ke dokter.” Ibuku
menggendong Sari di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Namun tangisan Sari
semakin keras, membuat para pengendara dan pejalan kaki di sekitar perempatan
lampu merah menoleh ke arah kami. Aku pun bingung. Hanya bisa menangis melihat
si kecil merintih kesakitan. Dalam hatiku berdoa memohon kepada Allah ada
malaikat penolong yang mau membantu kami yang sedang kesusahan. Dan benar saja,
Allah seketika mengabulkan doaku.
Sebuah
mobil berhenti di hadapan kami. Tampak wanita muda keluar dari mobil dan
berjalan ke arah kami. Cantik, dengan balutan gamis biru dan jilbab berwarna
sama.
“Assalamu’alaikum.
Saya lihat dari tadi anak ibu menangis terus.” Wanita itu memegang dahi Sari,
lalu dia memekik. “Anak ibu demam tinggi. Harus segera dibawa ke rumah sakit.”
“Tapi
saya tak punya uang untuk membayarnya.” Ibuku menjawab pasrah.
“Ayo,
saya antar ke rumah sakit. Nanti saya yang membayar biayanya.” Wanita itu menawarkan
bantuan.
Kami
pun segera menuju ke RSU Tangerang. Aku menunggu di ruang tunggu bersama Rani,
adikku. Sementara ibuku dan wanita berhati mulia itu tengah sibuk mengurus
administrasi. Dalam hatiku terus berdoa untuk kesembuhan adikku. Aku tak mau
kehilangannya. Di usianya yang baru tiga tahun, dia harus mengalami penderitaan
seperti ini. Teringat kembali peristiwa dua tahun lalu ketika bapakku dipanggil
oleh-Nya. Meninggalkan kami dengan seonggok penderitaan. Utang-utang bapak yang
menumpuk di sana-sini, membuat kami terusir dari rumah kami. Semua harta ludes
tak tersisa untuk membayar utang-utangnya. Aku yang kala itu masih berusia
tujuh tahun pun harus rela kehilangan masa depanku. Tak bisa mengecap bangku
sekolah. Dan sekarang inilah kenyataan pahit yang harus kami hadapi. Hidup dari
meminta-minta, menjadi gelandangan.
Xxx
Wanita
muda itu berjalan ke arahku. Dia duduk di sampingku, tersenyum manis.
“Namamu
siapa, dik?” tanyanya lembut.
“Bintang,
bu.” Jawabku.
“Indah
sekali namanya. Pasti ingin bersinar seperti bintang di langit sana.”
“Tak
mungkin Bu. Cahayanya sudah redup. Dia tak bisa menerangi bumi lagi. Dia sudah
mati.” Kataku sendu.
“Kenapa
bilang begitu dik? Kamu masih muda, masa depanmu masih cerah.”
“Aku
hanyalah pengemis. Ibuku tak punya uang untuk menyekolahkanku.”
“Apa
karena keadaanmu yang seperti ini kamu lantas pasrah dengan nasib?” tanyanya.
“Bisakah
seseorang yang miskin sepertiku menggapai mimpi untuk bersekolah?” aku balik
bertanya kepadanya.
“Tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini dik. Selama kita terus berusaha dan
bersungguh-sungguh untuk mewujudkan mimpi kita.”
“Tapi
sekarang ini kalau kita tak punya uang, maka kita tak bisa sekolah.”
“Tidak
juga.” “Umurmu berapa?” tanyanya lagi.
“Sembilan
tahun bu.”
“Masih
muda sekali. Masih bisa untuk meneruskan mimpi dan cita-citamu.” Aku tak
menjawab. Hanya tersenyum tipis.
“Kamu
mau sekolah?”
“Tentu
saja. Aku selalu iri melihat anak-anak yang memakai seragam merah putih
berangkat sekolah dengan riang gembira.” Kataku antusias. “Boleh aku tahu siapa
ibu sebenarnya? Kenapa ibu begitu baik hati kepada kami.”
“Oh
ya dari tadi ibu belum menjelaskan. Nama ibu Zahratun Nisa. Panggil saja ibu
Zahra. Ibu bekerja di organisasi sosial untuk membantu orang-orang yang kurang
mampu dan fakir miskin. Tugas ibu setiap hari survey ke setiap sudut kota untuk merekrut orang-orang sepertimu
agar bisa diberi kehidupan yang layak.”
“Mulia
sekali. Tapi siapa yang mendanai semuanya Bu? Masih adakah orang-orang yang
peduli dengan kami?”
“Tentu
saja banyak dik. Masih ada segelintir orang-orang yang tergerak hatinya
membantu mereka yang butuh pertolongan. Kami tak pernah kekurangan donasi. Sebuah
organisasi amal insya Allah tak akan pernah berhenti bergerak.” Bu Zahra
tersenyum manis.
Tampak
ibuku berjalan ke arah kami. Ibu merangkul kami. Wajahnya bersinar bahagia. “Sari
sedang tidur. Dia sudah turun panasnya. Alhamdulillah berkat pertolongan bu
Zahra. Terima kasih ya Bu. Kami tak bisa membalas kebaikan ibu.” Ibuku memegang
tangan bu Zahra dengan erat.
“Tak
apa Bu. Sudah tugas kami untuk saling membantu sesama. Oh ya, untuk sementara
biar Bintang dan Rani tinggal dengan saya. Ibu fokus menjaga Sari saja. Nanti
setiap hari saya akan datang kemari.”
“Sekali
lagi saya hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih Bu. Tanpa ibu, saya tak
tahu nasib anak saya bagaimana.”
“Berterimakasihlah
kepada Allah SWT Bu. Tanpa campur tangan-Nya, kita tak bisa dipertemukan
seperti ini. Nanti ke depannya biarkan Bintang meneruskan kembali menggapai
mimpinya. Lembaga kami yang akan mendanai semuanya. Ibu pun bisa bekerja
bersama kami. Nanti kami akan ajarkan keahlian kepada ibu.”
“Ya
Allah, begitu besarnya kuasa-Mu. Bintang, doamu selama ini telah terkabul nak.”
Ibuku memelukku erat sekali.
“Terima
kasih Bu.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Air mataku sudah menganak
sungai, tak kuasa menahan haru yang menggebu dalam dada. Dalam hatiku berkata,
“Selamat datang ilmu. Tunggu aku menggapaimu.”
Ya.
Allah tak pernah tidur. Allah selalu mendengarkan rintihan hati hamba-Nya.
Suatu saat doa kita pasti terwujud. Entah itu kapan, namun yang pasti
rencana-Nya akan indah pada waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar