Cari Blog Ini

Selasa, 16 Juni 2015

Kisah Seorang Pengemis Demi Menggapai Ilmu

 
“Selamat Datang Ilmu”
Oleh: Agustin Az-zahra

"Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama Penerbit Aria Mandiri"


Namaku Bintang. Setiap hari aku selalu berada di tengah-tengah kerumunan orang yang akan bekerja. Di sudut jalan, menadahkan tangan demi sesuap nasi.
Hati kecilku berontak, aku sedih, aku marah, aku iri melihat anak-anak sebayaku memakai seragam merah putih dengan wajah riang berangkat sekolah. Aku selalu membayangkan kapan aku bisa seperti mereka.Tersenyum, tertawa gembira bermain dengan teman-teman. Sedangkan aku, hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Seperti biasa aku dan ibuku berada di sudut jalan, meminta-minta belas kasihan orang. Dalam  sehari, kami bisa berganti-ganti tempat sebanyak tiga kali. Pagi hari di pabrik, siang hari di perempatan lampu merah, dan menjelang sore hari di sekitar terminal. Penghasilan kami dalam sehari sebenarnya cukup untuk hanya sekedar makan, namun sayangnya kami harus memberikan uang kami sebagiannya kepada kepala preman di tempat kami tinggal, di bawah kolong jembatan dengan kondisi yang tidak layak disebut rumah, hanya kardus-kardus dan atap jerami yang dibentuk kotak untuk tempat kami tidur. Ya, beginilah nasib orang pinggiran seperti kami.

Xxx

Panasnya mentari di siang hari ini membuat adikku yang paling kecil menangis. Sari terus menerus merengek, tampaknya dia sakit. Aku coba menempelkan tanganku ke dahinya. Benar saja, panas sekali badannya.
“Bu, Sari sakit. Badannya panas sekali.”
“Iya Bin, bagaimana ini? Ibu tak punya uang untuk membawanya ke dokter.” Ibuku menggendong Sari di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Namun tangisan Sari semakin keras, membuat para pengendara dan pejalan kaki di sekitar perempatan lampu merah menoleh ke arah kami. Aku pun bingung. Hanya bisa menangis melihat si kecil merintih kesakitan. Dalam hatiku berdoa memohon kepada Allah ada malaikat penolong yang mau membantu kami yang sedang kesusahan. Dan benar saja, Allah seketika mengabulkan doaku.
Sebuah mobil berhenti di hadapan kami. Tampak wanita muda keluar dari mobil dan berjalan ke arah kami. Cantik, dengan balutan gamis biru dan jilbab berwarna sama.
“Assalamu’alaikum. Saya lihat dari tadi anak ibu menangis terus.” Wanita itu memegang dahi Sari, lalu dia memekik. “Anak ibu demam tinggi. Harus segera dibawa ke rumah sakit.”
“Tapi saya tak punya uang untuk membayarnya.” Ibuku menjawab pasrah.
“Ayo, saya antar ke rumah sakit. Nanti saya yang membayar biayanya.” Wanita itu menawarkan bantuan.
Kami pun segera menuju ke RSU Tangerang. Aku menunggu di ruang tunggu bersama Rani, adikku. Sementara ibuku dan wanita berhati mulia itu tengah sibuk mengurus administrasi. Dalam hatiku terus berdoa untuk kesembuhan adikku. Aku tak mau kehilangannya. Di usianya yang baru tiga tahun, dia harus mengalami penderitaan seperti ini. Teringat kembali peristiwa dua tahun lalu ketika bapakku dipanggil oleh-Nya. Meninggalkan kami dengan seonggok penderitaan. Utang-utang bapak yang menumpuk di sana-sini, membuat kami terusir dari rumah kami. Semua harta ludes tak tersisa untuk membayar utang-utangnya. Aku yang kala itu masih berusia tujuh tahun pun harus rela kehilangan masa depanku. Tak bisa mengecap bangku sekolah. Dan sekarang inilah kenyataan pahit yang harus kami hadapi. Hidup dari meminta-minta, menjadi gelandangan.

Xxx

Wanita muda itu berjalan ke arahku. Dia duduk di sampingku, tersenyum manis.
“Namamu siapa, dik?” tanyanya lembut.
“Bintang, bu.” Jawabku.
“Indah sekali namanya. Pasti ingin bersinar seperti bintang di langit sana.”
“Tak mungkin Bu. Cahayanya sudah redup. Dia tak bisa menerangi bumi lagi. Dia sudah mati.” Kataku sendu.
“Kenapa bilang begitu dik? Kamu masih muda, masa depanmu masih cerah.”
“Aku hanyalah pengemis. Ibuku tak punya uang untuk menyekolahkanku.”
“Apa karena keadaanmu yang seperti ini kamu lantas pasrah dengan nasib?” tanyanya.
“Bisakah seseorang yang miskin sepertiku menggapai mimpi untuk bersekolah?” aku balik bertanya kepadanya.
“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini dik. Selama kita terus berusaha dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan mimpi kita.”
“Tapi sekarang ini kalau kita tak punya uang, maka kita tak bisa sekolah.”
“Tidak juga.” “Umurmu berapa?” tanyanya lagi.
“Sembilan tahun bu.”
“Masih muda sekali. Masih bisa untuk meneruskan mimpi dan cita-citamu.” Aku tak menjawab. Hanya tersenyum tipis.
“Kamu mau sekolah?”
“Tentu saja. Aku selalu iri melihat anak-anak yang memakai seragam merah putih berangkat sekolah dengan riang gembira.” Kataku antusias. “Boleh aku tahu siapa ibu sebenarnya? Kenapa ibu begitu baik hati kepada kami.”
“Oh ya dari tadi ibu belum menjelaskan. Nama ibu Zahratun Nisa. Panggil saja ibu Zahra. Ibu bekerja di organisasi sosial untuk membantu orang-orang yang kurang mampu dan fakir miskin. Tugas ibu setiap hari survey ke setiap sudut kota untuk merekrut orang-orang sepertimu agar bisa diberi kehidupan yang layak.”
“Mulia sekali. Tapi siapa yang mendanai semuanya Bu? Masih adakah orang-orang yang peduli dengan kami?”
“Tentu saja banyak dik. Masih ada segelintir orang-orang yang tergerak hatinya membantu mereka yang butuh pertolongan. Kami tak pernah kekurangan donasi. Sebuah organisasi amal insya Allah tak akan pernah berhenti bergerak.” Bu Zahra tersenyum manis.
Tampak ibuku berjalan ke arah kami. Ibu merangkul kami. Wajahnya bersinar bahagia. “Sari sedang tidur. Dia sudah turun panasnya. Alhamdulillah berkat pertolongan bu Zahra. Terima kasih ya Bu. Kami tak bisa membalas kebaikan ibu.” Ibuku memegang tangan bu Zahra dengan erat.
“Tak apa Bu. Sudah tugas kami untuk saling membantu sesama. Oh ya, untuk sementara biar Bintang dan Rani tinggal dengan saya. Ibu fokus menjaga Sari saja. Nanti setiap hari saya akan datang kemari.”
“Sekali lagi saya hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih Bu. Tanpa ibu, saya tak tahu nasib anak saya bagaimana.”
“Berterimakasihlah kepada Allah SWT Bu. Tanpa campur tangan-Nya, kita tak bisa dipertemukan seperti ini. Nanti ke depannya biarkan Bintang meneruskan kembali menggapai mimpinya. Lembaga kami yang akan mendanai semuanya. Ibu pun bisa bekerja bersama kami. Nanti kami akan ajarkan keahlian kepada ibu.”
“Ya Allah, begitu besarnya kuasa-Mu. Bintang, doamu selama ini telah terkabul nak.” Ibuku memelukku erat sekali.
“Terima kasih Bu.” Hanya itu yang keluar dari mulutku. Air mataku sudah menganak sungai, tak kuasa menahan haru yang menggebu dalam dada. Dalam hatiku berkata, “Selamat datang ilmu. Tunggu aku menggapaimu.”
Ya. Allah tak pernah tidur. Allah selalu mendengarkan rintihan hati hamba-Nya. Suatu saat doa kita pasti terwujud. Entah itu kapan, namun yang pasti rencana-Nya akan indah pada waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar