“Lambang
Cinta untuk Nenek”
Oleh: Agustin Azzahra
"Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama Infinite Publisher"
Tubuhku diselimuti oleh
duri. Banyak orang yang terluka karena tak sengaja menyentuh tubuhku. Namun,
kehadiranku banyak dicari oleh manusia, khususnya anak muda yang dilanda asmara.
Bagi mereka, aku adalah lambang dari cinta suci, ungkapan hati mereka yang
begitu mencintai sang pujaan hatinya. Apalagi jika warna mahkotaku yang merah
merona, pasti menjadi incaran mereka. Kau tahu siapa aku?
Ya, aku adalah bunga
mawar.
Aku biasa dipajang di
toko bunga, berderet rapi dengan saudara-saudaraku yang lain. Jika hari valentine telah tiba, maka pesanan kami
meroket tinggi. Namun aku muak jika pasangan muda-mudi yang membeliku. Aku
sudah jenuh melihat mereka yang tengah dimabuk asmara, hingga dengan bodohnya
melakukan perbuatan zina yang seakan tidak berdosa di mata mereka. Kadang, aku
mengutuki diriku sendiri. Kehadiranku ternyata malah membuat mereka terjerumus
ke dalam lembah maksiat. Ah, tidak. Tuhan pasti menciptakanku untuk tujuan
mulia. Manusianyalah yang salah menggunakanku untuk hal-hal yang tidak berguna.
Xxx
Pagi yang sejuk. Sinar
mentari yang baru bangun dari tidur lelapnya membuat tubuhku segar kembali,
membuat penampilanku terlihat sangat cantik dan harum mewangi. Kulihat ada seorang
kakek, usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Dia dan penjaga toko tengah
mengadakan transaksi jual beli. Aku pikir kakek itu akan membeli bunga, dan
benar saja. Matanya tengah mengedarkan pandangan ke sekeliling deretan
bunga-bunga yang indah menawan. Lalu, pandangannya tertuju padaku.
“Saya pesan sebuket
mawar merah yang di sana ya.” Kata kakek itu seraya tangannya menunjuk
kepadaku.
“Baik Pak. Akan segera
saya siapkan.” Jawab penjaga toko. Dia segera meraihku dan membungkusku dengan
plastik dan pita berwarna senada denganku.
“Ini Pak.” Dia
memberikanku kepada kakek itu. Lalu, kakek itu memberikan tiga lembar uang
ratusan ribu kepadanya.
“Terima kasih nak.”
“Sama-sama Pak.” Kakek
itu tersenyum lalu beranjak pulang. Seorang perempuan muda, kupikir dia
cucunya, tengah menunggu di dalam mobil, di seberang jalan toko bunga.
“Sudah dapat bunga
mawarnya kek?” Tanyanya ketika kakek itu masuk ke dalam mobil.
“Alhamdulillah sudah.
Cantik dan indah sekali bukan, Put?” Tanya kakek pada cucunya.
“Iya. Putri suka. Dan
nenek juga pasti suka kek.” Putri tersenyum manis.
“Iya, pasti.” Kakek pun
tersenyum.
Aku mendengarkan
pembicaraan kakek dan cucu itu. Ternyata aku akan dihadiahkan kepada istri
kakek itu. Jarang sekali yang membeliku di kalangan usia lansia. Aku yakin
kakek itu tipikal seseorang yang romantis.
Xxx
Mobil berjalan
perlahan. Lalu sampailah aku di rumah kakek itu. Rumahnya sungguh asri dan
indah. Di halamannya terdapat banyak pohon dan tanaman. Dari pohon mangga, pepaya,
hingga jambu air. Ada juga tanaman apotek hidup, seperti lidah buaya, sirih,
jahe, dan lain sebagainya tertata rapi di sudut-sudut halaman. Rupanya kakek
itu seseorang yang begitu mencintai dunia tumbuhan. Pantas saja badannya masih
terlihat segar bugar.
Mereka pun keluar dari
mobil. Kakek membawaku masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumahnya pun begitu
rapi dan indah dipandang. Foto-foto keluarga terpajang cantik di tengah
ruangan. Penataan dekorasi berbagai barang sungguh apik. Aku jadi kerasan
berada di rumah kakek.
Tampaknya penghuni
rumah yang lain sedang pergi. Aku tak melihat satu pun yang tampak batang
hidungnya. Atau sedang di ruangan lain, rumah ini kan besar sekali. Aku
menduga-duga sendiri.
Mereka pun berjalan ke
belakang rumah. Ternyata di sana terdapat kolam renang yang berukuran sedang.
Di sampingnya terdapat kamar tidur berukuran besar. Kakek membuka pintu
perlahan diikuti oleh Putri, cucunya. Aku yang berada di tangan kakek terkejut
dengan apa yang kulihat. Sang istri, yang begitu dicintai kakek sedang
tergeletak lemah di tempat tidur. Matanya tertuju padaku, dan dia tersenyum
manis.
“Engkau mengabulkan
permintaanku, Nan?” kata Nenek dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Iya Ni. Aku akan
mengabulkan apa pun yang engkau minta.” Kakek duduk di tepi ranjang dan
memberikanku padanya.
Nenek meraihku dan
menghirup aroma tubuhku perlahan. Matanya terpejam menikmati aroma wangiku.
Lalu matanya terbuka kembali dan tampak jelas pancaran sinar kebahagiaan di
wajahnya.
“Nan, aku bahagia
sekali. Kau tahu kenapa?”
“Tidak, Ni.’
“Aku begitu bahagia.
Aku punya engkau yang begitu sayang dan perhatian padaku. Di usia kita yang
sudah tua renta ini, tak sedikit pun luntur kasih sayangmu. Aku benar-benar
bersyukur punya engkau dan juga keluarga yang begitu peduli padaku. Jika aku
sebentar lagi akan menutup usia, aku sudah ikhlas dengan semuanya.” Nenek
tersenyum. Pelan-pelan buliran air mata keluar dari pelupuk matanya.
Kakek yang mendengar
ucapan Nenek pun tak mampu membendung air matanya.
“Ni, jangan berkata
yang tidak-tidak. Aku yakin engkau akan bertahan hidup lebih lama denganku.
Tetaplah optimis Ni. Allah pasti memberikan kesembuhan padamu.” Kakek
menggenggam erat tangan Nenek.
“Benar, manusia harus
berusaha semaksimal mungkin. Namun, kita pun harus menerima takdir dari-Nya
dengan lapang dada. Kematian itu rahasia Illahi. Jika aku harus meninggalkan
dunia hari ini atau esok, mungkin itu sudah takdir dari-Nya.”
“Sudahlah Ni. Aku tak
mau mendengar kata-kata itu lagi. Sekarang engkau istirahatlah. Nanti sore
dokter Dian akan datang kemari.” Kakek pun mengecup kening Nenek.
Aku dan Putri hanya
terdiam mendengarkan dua insan yang saling mencinta. Benar-benar terharu dan
tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Kakek dan cucunya
keluar dari kamar Nenek. Sedangkan aku masih berada di genggaman tangan Nenek.
Berkali-kali aku diciuminya.
Perlahan Nenek berkata
padaku, “Mawar, aku begitu mencintai Nan. Namun, aku tahu ajalku sudah berada
di ujung mata. Jika besok aku sudah tak bisa menghirup aroma wangimu, aku harap
kau mau menemaniku di tempat peristirahatan terakhirku.” Setelah mengatakan
kata-kata itu, Nenek pun terlelap tidur, dengan diriku masih tetap setia dalam
genggamannya. Baru kali ini aku merasakan kehadiranku yang begitu berarti di
mata manusia.
Xxx
Dokter Dian tengah
memeriksa kesehatan Nenek. Di dalam ruangan, tampak semua keluarga berkumpul.
Kakek, anak-anak, dan semua cucu-cucunya tengah menunggu hasil diagnosis.
“Pak, istri Bapak sudah
lumayan membaik keadaannya. Namun memang sebaiknya beliau dirawat di Rumah
Sakit. Jika rawat jalan seperti ini, akan memakan waktu yang cukup lama untuk
sembuh. Apalagi penyakit stroke nya
perlu penanganan orang yang ahli di bidangnya.”
“Tak apa-apa Dok. Saya
tak mau tinggal di Rumah Sakit untuk waktu yang lama. Dua minggu kemarin saya
sudah puas berada di sana. Saya ingin menghabiskan sisa waktu saya berada di
tengah-tengah keluarga yang saya cintai.”
“Jika itu sudah
keputusan bulat Ibu, saya tidak bisa memaksa. Saya akan rutin datang kemari.
Obat-obatnya harus diminum ya Bu.” Nenek pun hanya mengangguk.
“Baiklah Bu, Pak, saya
pamit dulu. Jika ada sesuatu hal, segera hubungi saya. Assalamu’alaikum.”
“Terima kasih ya Dok.
Wa’alaikumsalam.” Kata kakek.
Setelah kepergian
Dokter Dian, Nenek berkata, “Nenek sudah tidak mau diobati dan diperiksa dokter
lagi. Nenek memang sudah tua. Sudah bau tanah. Besok pun Nenek sudah tak bisa
menghirup aroma wangi bunga mawar lagi.”
“Astaghfirullah Ni,
engkau berkata yang aneh-aneh saja. Istighfar Ni.” Kakek menangis mendengar
ucapan istrinya.
“Ibu harus sembuh.
Turuti perintah Dokter Dian ya..” Anaknya mencoba menasihatinya.
“Iya Nek. Nenek harus
kuat. Biar nanti Nenek bisa mendongeng untukku lagi.” Cucunya yang berusia
tujuh tahun pun angkat suara.
Nenek hanya tersenyum
mendengarnya. “Nenek bahagia melihat kalian semua begitu sayang dan perhatian
pada Nenek. Nenek pasti akan merindukan saat-saat bahagia seperti ini dengan
kalian. Jarang kan kita bisa berkumpul semua, satu keluarga besar.”
“Oleh karena itu, Ni
harus kuat. Ni harus optimis Ni akan sembuh.” Kakek menyemangati istrinya.
“Aku serahkan semuanya
pada Allah, Nan. Satu pesanku, jika Allah menakdirkan aku kembali ke sisi-Nya,
aku ingin bunga mawar ini dikubur bersamaku. Kalian harus tetap rukun dan
saling menyayangi. Dan kau Nan, aku akan selalu menyayangi dan mencintaimu.”
“Tampaknya engkau sudah
lelah Ni. Istirahatlah. Ayo, diminum dulu obatnya.” Kakek memenyodorkan obat ke
mulut istrinya.
Tangan Nenek mencegah
sendok Kakek masuk ke mulutnya. “Sudah ku bilang, aku sudah bosan dengan
obat-obatan, Nan. Aku baik-baik saja.
Aku mau tidur. Nenek sayang dengan kalian semua.” Lalu Nenek pun memejamkan
mata.
Aku yang berada di
samping Nenek mendengarkan semua pembicaraan mereka. Terharu sekali merasakan
perasaan cinta semua keluarga terhadap Nenek. Aku pun berdoa mudah-mudahan
Nenek bisa cepat sembuh,
Xxx
Langit pagi ini
terlihat mendung. Tampaknya tak lama lagi langit akan menangis. Kulihat Nenek
terlelap tidur dengan begitu damai. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman.
Aku yang berada dalam genggamannya merasakan sedikit keanehan. Bibir Nenek
terlihat sedikit pucat. Tubuh Nenek pun terasa dingin. Ada apa ini?
Kakek telah selesai
melaksanakan sholat shubuh. Dihampirinya sang istri tercinta. Ditepuk tangannya
perlahan.
“Ni, bangun. Ayo,
sholat shubuh terlebih dahulu.” Namun Nenek tetap tak berkutik.
Kakek mulai merasakan
kejanggalan. Kakek memegang tangan Nenek yang mulai dingin. Digerak-gerakkannya
tubuh Nenek dengan lebih keras.
“Ni, bangun Ni. Kau
masih tidur kan? Kau tidak meninggalkanku kan, Ni? Ni…” kakek mulai menangis.
Aku pun ikut merasakan
kesedihan Kakek. Aku juga merasakan begitu kehilangan Nenek. Walaupun baru dua
hari aku di sini.
Penghuni rumah yang
mendengar tangisan Kakek bergegas masuk ke dalam kamar.
“Ada apa Kek?” Putri
bertanya. Kakek tak menjawab. Dia terus menangisi kepergian Nenek untuk
selamanya.
“Nenek, Nenek kenapa
Kek?” cucunya yang kecil juga bertanya.
Anaknya yang lain
memegang tangan Nenek dan seketika menjerit, “Innalillahi wa inna ilaihi
roji’un.” Mereka semua pun menangis dan bersedih atas kejadian ini.
“Nenek…!?”
“Ibu… Allah begitu
sayang padamu.”
“Pak, ayo kita bawa
Nenek ke Rumah Sakit.” Namun Kakek menggeleng.
“Tak perlu. Nenek
sendiri yang bilang, dia tak mau pergi ke Rumah Sakit lagi. Kita sudah tahu
jika Nenek sudah tak ada lagi di dunia ini. Lebih baik segera lakukan proses
pemakaman agar jasad Nenek cepat dikebumikan.
Mereka pun segera
melakukan proses pemandian, pengajian, dan sholat jenazah. Tampak guratan
kesedihan di wajah semua keluarga. Namun mereka sudah ikhlas dengan kepergian
sang Nenek.
Xxx
Jasad Nenek pelan-pelan
diletakkan di tanah oleh Kakek, lalu dilepasnya tali pocong yang mengikat
kepala dan kakinya. Dengan bercucuran air mata, Kakek menutup papan untuk
menutupi tubuh Nenek. Lalu pelan-pelan jasad Nenek dikubur oleh tanah. Di atas
pusara, tak lupa sesuai wasiat Nenek, aku diletakkan di atasnya. Aku akan
menjaga dan menemani Nenek sampai tubuhku layu dimakan usia.
“Ni, istirahatlah kau
di sana dengan tenang. Maafkan aku jika selama kau hidup, aku pernah menyakitimu.
Aku akan tetap mengenang semua peristiwa yang aku alami bersama denganmu.”
Kakek membelai gundukan tanah itu.
“Ayo Kek. Sebentar lagi
akan turun hujan.” Putri mengajak Kakek untuk pulang.
Kakek pun menatap
sekali lagi pusara istrinya tercinta. Diciumnya aku untuk terakhir kalinya.
“Besok aku kemari lagi Ni.” Kakek pun
beranjak pergi meninggalkan pemakaman. Aku menatap kepergian mereka dengan
sendu. Tak bisa dibayangkan jika aku harus melihat kesedihan di antara sepasang
insan yang harus terpisah oleh ajal.
Perlahan bulir-bulir
air hujan turun membasahi bumi. Kulihat sekali lagi Kakek dan keluarganya
hingga mereka pergi meninggalkan pemakaman. Tubuhku disirami hujan yang semakin
turun dengan derasnya. Lambat laun tubuhku akan hancur. Bau wangi dari diriku
menyerbak ke mana-mana. Aku pun pasrah. Biarkan tubuh ini menyatu dengan tanah
pusara Nenek, agar aku bisa selalu menjaga dan menemaninya. Aku bahagia bisa
menjadi sebuah lambang dari ekspresi cinta Kakek yang begitu mendalam kepada
Nenek. Akan kubawa serta merta kepingan mozaik cinta Kakek untuk Nenek ke dalam
alam kedamaian, dan aku yakin Nenek akan menerimanya dengan sangat bahagia.
Xxx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar