Cari Blog Ini

Sabtu, 13 Juni 2015

Cerita Cinta nan Menggugah Jiwa


“Lambang Cinta untuk Nenek”
Oleh: Agustin Azzahra

 "Dimuat dalam Antologi Cerpen bersama Infinite Publisher"


Tubuhku diselimuti oleh duri. Banyak orang yang terluka karena tak sengaja menyentuh tubuhku. Namun, kehadiranku banyak dicari oleh manusia, khususnya anak muda yang dilanda asmara. Bagi mereka, aku adalah lambang dari cinta suci, ungkapan hati mereka yang begitu mencintai sang pujaan hatinya. Apalagi jika warna mahkotaku yang merah merona, pasti menjadi incaran mereka. Kau tahu siapa aku?
Ya, aku adalah bunga mawar.
Aku biasa dipajang di toko bunga, berderet rapi dengan saudara-saudaraku yang lain. Jika hari valentine telah tiba, maka pesanan kami meroket tinggi. Namun aku muak jika pasangan muda-mudi yang membeliku. Aku sudah jenuh melihat mereka yang tengah dimabuk asmara, hingga dengan bodohnya melakukan perbuatan zina yang seakan tidak berdosa di mata mereka. Kadang, aku mengutuki diriku sendiri. Kehadiranku ternyata malah membuat mereka terjerumus ke dalam lembah maksiat. Ah, tidak. Tuhan pasti menciptakanku untuk tujuan mulia. Manusianyalah yang salah menggunakanku untuk hal-hal yang tidak berguna.

Xxx

Pagi yang sejuk. Sinar mentari yang baru bangun dari tidur lelapnya membuat tubuhku segar kembali, membuat penampilanku terlihat sangat cantik dan harum mewangi. Kulihat ada seorang kakek, usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Dia dan penjaga toko tengah mengadakan transaksi jual beli. Aku pikir kakek itu akan membeli bunga, dan benar saja. Matanya tengah mengedarkan pandangan ke sekeliling deretan bunga-bunga yang indah menawan. Lalu, pandangannya tertuju padaku.
“Saya pesan sebuket mawar merah yang di sana ya.” Kata kakek itu seraya tangannya menunjuk kepadaku.
“Baik Pak. Akan segera saya siapkan.” Jawab penjaga toko. Dia segera meraihku dan membungkusku dengan plastik dan pita berwarna senada denganku.
“Ini Pak.” Dia memberikanku kepada kakek itu. Lalu, kakek itu memberikan tiga lembar uang ratusan ribu kepadanya.
“Terima kasih nak.”
“Sama-sama Pak.” Kakek itu tersenyum lalu beranjak pulang. Seorang perempuan muda, kupikir dia cucunya, tengah menunggu di dalam mobil, di seberang jalan toko bunga.
“Sudah dapat bunga mawarnya kek?” Tanyanya ketika kakek itu masuk ke dalam mobil.
“Alhamdulillah sudah. Cantik dan indah sekali bukan, Put?” Tanya kakek pada cucunya.
“Iya. Putri suka. Dan nenek juga pasti suka kek.” Putri tersenyum manis.
“Iya, pasti.” Kakek pun tersenyum.
Aku mendengarkan pembicaraan kakek dan cucu itu. Ternyata aku akan dihadiahkan kepada istri kakek itu. Jarang sekali yang membeliku di kalangan usia lansia. Aku yakin kakek itu tipikal seseorang yang romantis.

Xxx

Mobil berjalan perlahan. Lalu sampailah aku di rumah kakek itu. Rumahnya sungguh asri dan indah. Di halamannya terdapat banyak pohon dan tanaman. Dari pohon mangga, pepaya, hingga jambu air. Ada juga tanaman apotek hidup, seperti lidah buaya, sirih, jahe, dan lain sebagainya tertata rapi di sudut-sudut halaman. Rupanya kakek itu seseorang yang begitu mencintai dunia tumbuhan. Pantas saja badannya masih terlihat segar bugar.
Mereka pun keluar dari mobil. Kakek membawaku masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumahnya pun begitu rapi dan indah dipandang. Foto-foto keluarga terpajang cantik di tengah ruangan. Penataan dekorasi berbagai barang sungguh apik. Aku jadi kerasan berada di rumah kakek.
Tampaknya penghuni rumah yang lain sedang pergi. Aku tak melihat satu pun yang tampak batang hidungnya. Atau sedang di ruangan lain, rumah ini kan besar sekali. Aku menduga-duga sendiri.
Mereka pun berjalan ke belakang rumah. Ternyata di sana terdapat kolam renang yang berukuran sedang. Di sampingnya terdapat kamar tidur berukuran besar. Kakek membuka pintu perlahan diikuti oleh Putri, cucunya. Aku yang berada di tangan kakek terkejut dengan apa yang kulihat. Sang istri, yang begitu dicintai kakek sedang tergeletak lemah di tempat tidur. Matanya tertuju padaku, dan dia tersenyum manis.
“Engkau mengabulkan permintaanku, Nan?” kata Nenek dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Iya Ni. Aku akan mengabulkan apa pun yang engkau minta.” Kakek duduk di tepi ranjang dan memberikanku padanya.
Nenek meraihku dan menghirup aroma tubuhku perlahan. Matanya terpejam menikmati aroma wangiku. Lalu matanya terbuka kembali dan tampak jelas pancaran sinar kebahagiaan di wajahnya.
“Nan, aku bahagia sekali. Kau tahu kenapa?”
“Tidak, Ni.’
“Aku begitu bahagia. Aku punya engkau yang begitu sayang dan perhatian padaku. Di usia kita yang sudah tua renta ini, tak sedikit pun luntur kasih sayangmu. Aku benar-benar bersyukur punya engkau dan juga keluarga yang begitu peduli padaku. Jika aku sebentar lagi akan menutup usia, aku sudah ikhlas dengan semuanya.” Nenek tersenyum. Pelan-pelan buliran air mata keluar dari pelupuk matanya.
Kakek yang mendengar ucapan Nenek pun tak mampu membendung air matanya.
“Ni, jangan berkata yang tidak-tidak. Aku yakin engkau akan bertahan hidup lebih lama denganku. Tetaplah optimis Ni. Allah pasti memberikan kesembuhan padamu.” Kakek menggenggam erat tangan Nenek.
“Benar, manusia harus berusaha semaksimal mungkin. Namun, kita pun harus menerima takdir dari-Nya dengan lapang dada. Kematian itu rahasia Illahi. Jika aku harus meninggalkan dunia hari ini atau esok, mungkin itu sudah takdir dari-Nya.”
“Sudahlah Ni. Aku tak mau mendengar kata-kata itu lagi. Sekarang engkau istirahatlah. Nanti sore dokter Dian akan datang kemari.” Kakek pun mengecup kening Nenek.
Aku dan Putri hanya terdiam mendengarkan dua insan yang saling mencinta. Benar-benar terharu dan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Kakek dan cucunya keluar dari kamar Nenek. Sedangkan aku masih berada di genggaman tangan Nenek. Berkali-kali aku diciuminya.
Perlahan Nenek berkata padaku, “Mawar, aku begitu mencintai Nan. Namun, aku tahu ajalku sudah berada di ujung mata. Jika besok aku sudah tak bisa menghirup aroma wangimu, aku harap kau mau menemaniku di tempat peristirahatan terakhirku.” Setelah mengatakan kata-kata itu, Nenek pun terlelap tidur, dengan diriku masih tetap setia dalam genggamannya. Baru kali ini aku merasakan kehadiranku yang begitu berarti di mata manusia.

Xxx

Dokter Dian tengah memeriksa kesehatan Nenek. Di dalam ruangan, tampak semua keluarga berkumpul. Kakek, anak-anak, dan semua cucu-cucunya tengah menunggu hasil diagnosis.
“Pak, istri Bapak sudah lumayan membaik keadaannya. Namun memang sebaiknya beliau dirawat di Rumah Sakit. Jika rawat jalan seperti ini, akan memakan waktu yang cukup lama untuk sembuh. Apalagi penyakit stroke nya perlu penanganan orang yang ahli di bidangnya.”
“Tak apa-apa Dok. Saya tak mau tinggal di Rumah Sakit untuk waktu yang lama. Dua minggu kemarin saya sudah puas berada di sana. Saya ingin menghabiskan sisa waktu saya berada di tengah-tengah keluarga yang saya cintai.”
“Jika itu sudah keputusan bulat Ibu, saya tidak bisa memaksa. Saya akan rutin datang kemari. Obat-obatnya harus diminum ya Bu.” Nenek pun hanya mengangguk.
“Baiklah Bu, Pak, saya pamit dulu. Jika ada sesuatu hal, segera hubungi saya. Assalamu’alaikum.”
“Terima kasih ya Dok. Wa’alaikumsalam.” Kata kakek.
Setelah kepergian Dokter Dian, Nenek berkata, “Nenek sudah tidak mau diobati dan diperiksa dokter lagi. Nenek memang sudah tua. Sudah bau tanah. Besok pun Nenek sudah tak bisa menghirup aroma wangi bunga mawar lagi.”
“Astaghfirullah Ni, engkau berkata yang aneh-aneh saja. Istighfar Ni.” Kakek menangis mendengar ucapan istrinya.
“Ibu harus sembuh. Turuti perintah Dokter Dian ya..” Anaknya mencoba menasihatinya.
“Iya Nek. Nenek harus kuat. Biar nanti Nenek bisa mendongeng untukku lagi.” Cucunya yang berusia tujuh tahun pun angkat suara.
Nenek hanya tersenyum mendengarnya. “Nenek bahagia melihat kalian semua begitu sayang dan perhatian pada Nenek. Nenek pasti akan merindukan saat-saat bahagia seperti ini dengan kalian. Jarang kan kita bisa berkumpul semua, satu keluarga besar.”
“Oleh karena itu, Ni harus kuat. Ni harus optimis Ni akan sembuh.” Kakek menyemangati istrinya.
“Aku serahkan semuanya pada Allah, Nan. Satu pesanku, jika Allah menakdirkan aku kembali ke sisi-Nya, aku ingin bunga mawar ini dikubur bersamaku. Kalian harus tetap rukun dan saling menyayangi. Dan kau Nan, aku akan selalu menyayangi dan mencintaimu.”
“Tampaknya engkau sudah lelah Ni. Istirahatlah. Ayo, diminum dulu obatnya.” Kakek memenyodorkan obat ke mulut istrinya.
Tangan Nenek mencegah sendok Kakek masuk ke mulutnya. “Sudah ku bilang, aku sudah bosan dengan obat-obatan, Nan. Aku  baik-baik saja. Aku mau tidur. Nenek sayang dengan kalian semua.” Lalu Nenek pun memejamkan mata.
Aku yang berada di samping Nenek mendengarkan semua pembicaraan mereka. Terharu sekali merasakan perasaan cinta semua keluarga terhadap Nenek. Aku pun berdoa mudah-mudahan Nenek bisa cepat sembuh,

Xxx

Langit pagi ini terlihat mendung. Tampaknya tak lama lagi langit akan menangis. Kulihat Nenek terlelap tidur dengan begitu damai. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Aku yang berada dalam genggamannya merasakan sedikit keanehan. Bibir Nenek terlihat sedikit pucat. Tubuh Nenek pun terasa dingin. Ada apa ini?
Kakek telah selesai melaksanakan sholat shubuh. Dihampirinya sang istri tercinta. Ditepuk tangannya perlahan.
“Ni, bangun. Ayo, sholat shubuh terlebih dahulu.” Namun Nenek tetap tak berkutik.
Kakek mulai merasakan kejanggalan. Kakek memegang tangan Nenek yang mulai dingin. Digerak-gerakkannya tubuh Nenek dengan lebih keras.
“Ni, bangun Ni. Kau masih tidur kan? Kau tidak meninggalkanku kan, Ni? Ni…” kakek mulai menangis.
Aku pun ikut merasakan kesedihan Kakek. Aku juga merasakan begitu kehilangan Nenek. Walaupun baru dua hari aku di sini.
Penghuni rumah yang mendengar tangisan Kakek bergegas masuk ke dalam kamar.
“Ada apa Kek?” Putri bertanya. Kakek tak menjawab. Dia terus menangisi kepergian Nenek untuk selamanya.
“Nenek, Nenek kenapa Kek?” cucunya yang kecil juga bertanya.
Anaknya yang lain memegang tangan Nenek dan seketika menjerit, “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.” Mereka semua pun menangis dan bersedih atas kejadian ini.
“Nenek…!?”
“Ibu… Allah begitu sayang padamu.”
“Pak, ayo kita bawa Nenek ke Rumah Sakit.” Namun Kakek menggeleng.
“Tak perlu. Nenek sendiri yang bilang, dia tak mau pergi ke Rumah Sakit lagi. Kita sudah tahu jika Nenek sudah tak ada lagi di dunia ini. Lebih baik segera lakukan proses pemakaman agar jasad Nenek cepat dikebumikan.
Mereka pun segera melakukan proses pemandian, pengajian, dan sholat jenazah. Tampak guratan kesedihan di wajah semua keluarga. Namun mereka sudah ikhlas dengan kepergian sang Nenek.

Xxx

Jasad Nenek pelan-pelan diletakkan di tanah oleh Kakek, lalu dilepasnya tali pocong yang mengikat kepala dan kakinya. Dengan bercucuran air mata, Kakek menutup papan untuk menutupi tubuh Nenek. Lalu pelan-pelan jasad Nenek dikubur oleh tanah. Di atas pusara, tak lupa sesuai wasiat Nenek, aku diletakkan di atasnya. Aku akan menjaga dan menemani Nenek sampai tubuhku layu dimakan usia.
“Ni, istirahatlah kau di sana dengan tenang. Maafkan aku jika selama kau hidup, aku pernah menyakitimu. Aku akan tetap mengenang semua peristiwa yang aku alami bersama denganmu.” Kakek membelai gundukan tanah itu.
“Ayo Kek. Sebentar lagi akan turun hujan.” Putri mengajak Kakek untuk pulang.
Kakek pun menatap sekali lagi pusara istrinya tercinta. Diciumnya aku untuk terakhir kalinya. “Besok aku kemari lagi Ni.”  Kakek pun beranjak pergi meninggalkan pemakaman. Aku menatap kepergian mereka dengan sendu. Tak bisa dibayangkan jika aku harus melihat kesedihan di antara sepasang insan yang harus terpisah oleh ajal.
Perlahan bulir-bulir air hujan turun membasahi bumi. Kulihat sekali lagi Kakek dan keluarganya hingga mereka pergi meninggalkan pemakaman. Tubuhku disirami hujan yang semakin turun dengan derasnya. Lambat laun tubuhku akan hancur. Bau wangi dari diriku menyerbak ke mana-mana. Aku pun pasrah. Biarkan tubuh ini menyatu dengan tanah pusara Nenek, agar aku bisa selalu menjaga dan menemaninya. Aku bahagia bisa menjadi sebuah lambang dari ekspresi cinta Kakek yang begitu mendalam kepada Nenek. Akan kubawa serta merta kepingan mozaik cinta Kakek untuk Nenek ke dalam alam kedamaian, dan aku yakin Nenek akan menerimanya dengan sangat bahagia.

Xxx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar